Gaya Bahasa Informal dan Contohnya yang Lo Gue Banget

Gaya bahasa informal merupakan jenis gaya bahasa yang digunakan dalam situasi santai atau non-resmi. Berbeda dengan gaya bahasa formal yang lebih kaku dan terstruktur. 

Bahasa informal cenderung lebih fleksibel, ekspresif, dan sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. 

Penggunaan gaya bahasa ini mencerminkan kedekatan antara pembicara dan pendengar, serta sering kali menunjukkan keakraban, humor, atau kehangatan.

Karakteristik Gaya Bahasa Informal

1. Penggunaan Kata-Kata Santai: Gaya bahasa informal sering menggunakan kata-kata yang lebih sederhana dan santai. Contoh: "lo," "Gue," "lu," "aja," "ga," dan "nggak" dalam bahasa Indonesia.

2. Penggunaan Slang: Slang atau bahasa gaul merupakan salah satu ciri khas dari gaya bahasa informal. Slang adalah kata atau frasa yang bersifat non-standar dan sering kali hanya dikenal dalam kelompok tertentu. Contoh: "Bro," "sis," "baper," dan "gabut."

3. Kontraksi: Dalam bahasa informal, kontraksi seperti "gak," "nggak," "donk," atau "kok" sering digunakan untuk menggantikan bentuk formalnya. Dalam bahasa Inggris, kontraksi seperti "can't" (cannot), "I'm" (I am), dan "don't" (do not) sangat umum.

4. Penggunaan Ekspresi Emosional: Ekspresi emosional yang lebih bebas dan tidak terkendali, seperti "hahaha," "wow," "asyik," atau "OMG" sering muncul dalam bahasa informal.

5. Bahasa Tubuh dan Isyarat: Dalam percakapan lisan, gaya bahasa informal sering diiringi dengan bahasa tubuh, isyarat, atau ekspresi wajah yang menambah makna dari kata-kata yang diucapkan.

6. Gramatika yang Tidak Terlalu Ketat: Gramatika dalam bahasa informal cenderung lebih longgar dibandingkan dengan bahasa formal. Struktur kalimatnya bisa jadi lebih sederhana atau bahkan tidak lengkap, namun tetap bisa dipahami oleh lawan bicara.

7. Penggunaan Sapaan Akrab: Kata-kata sapaan dalam bahasa informal biasanya menunjukkan kedekatan atau keakraban. Misalnya, "lo," "kamu," atau "lu" dalam bahasa Indonesia, atau "you guys" dalam bahasa Inggris.

8. Penggunaan Frasa atau Kalimat Imperatif: Frasa atau kalimat perintah yang digunakan dalam bahasa informal biasanya lebih singkat dan tidak formal. Misalnya, "Cepetan deh!" atau "Buruan!"

Penggunaan Gaya Bahasa Informal dalam Konteks yang Berbeda

1. Percakapan Sehari-Hari: Gaya bahasa informal paling sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama antara teman atau keluarga. Penggunaan bahasa ini menciptakan suasana yang lebih hangat dan santai.

2. Media Sosial: Di platform media sosial seperti 𝕏, Instagram, atau Facebook, gaya bahasa informal sangat umum. Pengguna sering menggunakan singkatan, emotikon, dan gaya bahasa yang santai untuk berinteraksi.

3. Pesan Teks dan Chat: Dalam komunikasi melalui pesan teks atau aplikasi chatting, orang cenderung menggunakan gaya bahasa informal. Hal ini karena komunikasi tersebut biasanya bersifat cepat dan tidak resmi.

4. Penulisan Cerpen atau Artikel Santai: Dalam penulisan yang ditujukan untuk audiens umum atau topik yang lebih ringan, gaya bahasa informal dapat membuat tulisan lebih menarik dan mudah dipahami.

5. Dialog dalam Fiksi: Dalam karya fiksi, terutama yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, penulis sering menggunakan gaya bahasa informal dalam dialog antar karakter untuk memberikan kesan yang lebih alami dan realistis.

Keuntungan dan Kekurangan Penggunaan Gaya Bahasa Informal

Keuntungan

• Membangun Kedekatan: Bahasa informal membantu membangun hubungan yang lebih dekat antara pembicara dan pendengar.

• Ekspresif: Penggunaan bahasa informal memungkinkan ekspresi perasaan dan emosi yang lebih bebas.

• Fleksibel: Gaya bahasa ini lebih fleksibel dan mudah disesuaikan dengan konteks komunikasi.

Kekurangan

• Tidak Selalu Tepat: Bahasa informal tidak cocok digunakan dalam situasi formal atau resmi, seperti dalam komunikasi bisnis, akademik, atau hukum.

• Bisa Disalahpahami: Karena sifatnya yang tidak baku, bahasa informal kadang-kadang bisa disalahpahami atau tidak dipahami oleh semua orang.

• Kurang Profesional: Penggunaan bahasa informal dalam situasi yang tidak tepat bisa dianggap kurang profesional atau tidak sopan.

Perbedaan antara Gaya Bahasa Formal dan Informal

1. Pilihan Kata 

• Formal: Menggunakan kata-kata yang baku dan sesuai dengan tata bahasa yang benar.
• Informal: Menggunakan kata-kata yang lebih sederhana dan kadang-kadang slang atau tidak baku.

2. Struktur Kalimat 

• Formal: Kalimat-kalimat dalam bahasa formal biasanya panjang dan kompleks.
• Informal: Kalimat-kalimat cenderung lebih pendek dan sederhana.

3. Nada

• Formal: Nada dalam bahasa formal cenderung serius dan netral.
• Informal: Nada dalam bahasa informal lebih santai, akrab, dan terkadang humoris.

4. Sapaan 

• Formal: Menggunakan sapaan yang lebih formal seperti "Bapak," "Ibu," atau "Saudara."
• Informal: Menggunakan sapaan yang lebih akrab seperti "kamu," "lu," atau "teman." 

Contoh Gaya Bahasa Informal 

1. "Ngerasa Selalu Bener" 

Lo pernah ngerasa selalu bener ga sih? Atau malah sering banget? Kalo Gue sih sering. Jadi rasanya tuh kaya udah di atas awan, kaya apa yang gue pikirin itu udah pasti bener, ga peduli orang lain mau ngomong apa. 

Kadang, kita semua pasti ngalamin momen di mana kita merasa pendapat kita yang paling valid, paling sahih, dan paling bener. Gue ga bilang itu salah, ya. 

Kadang emang kita perlu yakin sama apa yang kita pikirin, apalagi kalo kita udah punya pengalaman dan ilmu yang mumpuni. 

Tapi masalahnya, ketika kita merasa selalu bener, kita juga seringkali jadi lupa buat dengerin orang lain. Kita jadi kebal sama kritik, ga mau tau pendapat orang lain, dan akhirnya, ya, jadi egois.

Bukan cuma itu, rasa selalu bener juga bisa bikin kita jadi ga berkembang. Bayangin aja, kalo kita selalu ngerasa bener, kapan kita bakal belajar? Kapan kita bakal menerima pandangan baru yang mungkin lebih cemerlang dari yang kita pikir? 

Gue punya temen, orangnya tuh selalu punya opini sendiri tentang segala hal, dan sialnya, dia selalu ngerasa paling bener. Ga ada yang bisa ngeyakinin dia kalao pandangan dia salah atau kurang tepat. 

Dan tau ga, alih-alih bikin dia terlihat bijak, itu malah bikin orang jadi males diskusi sama dia. Ya gimana, diskusi yang seharusnya jadi ajang tukar pikiran malah jadi ajang adu ego.

Gue juga pernah ada di fase itu. Merasa selalu bener dalam semua hal, sampai pada akhirnya gue sadar kalau itu ga bikin gue jadi orang yang lebih baik. Gue malah jadi keras kepala, gak mau dengerin masukan, dan akhirnya gue yang rugi sendiri. 

Mungkin kita ngerasa nyaman dengan pemikiran bahwa kita selalu bener, tapi kenyamanan itu sebenarnya semu. Nyaman karena kita gak perlu repot-repot mempertanyakan lagi apa yang kita yakini. 

Tapi di balik kenyamanan itu, kita sebenernya lagi membatasi diri kita sendiri. Kita jadi ga terbuka sama pandangan baru, kita jadi ga berkembang, dan akhirnya kita cuma stuck di situ-situ aja.

Gue pikir, salah satu hal paling penting dalam hidup ini adalah belajar buat meragukan diri sendiri. Bukan berarti kita harus kehilangan keyakinan atau jadi plin-plan, tapi meragukan dalam artian kita tetep mau terbuka sama ide-ide baru, tetep mau mendengar apa kata orang lain, dan siap buat berubah kalo ternyata kita salah.

Jadi, kalo lu ngerasa selalu bener, coba deh sesekali turunin ego. Biarin orang lain ngomong, biarin diri lu belajar. Siapa tau, di luar sana ada pemikiran yang lebih baik dan bisa bikin kita jadi orang yang lebih hebat. Lagian, apa salahnya sih ngaku kalo kita salah? Toh, manusia itu tempatnya salah dan dosa, kan? 

2. "Banyakin Istighfar sama Baca Shalawat!" 

Di jaman sekarang, hidup tuh kaya sinyal 3 (tri) di kampung, naik-turun ngga jelas, masalah ada terus. Makanya, pada suatu ketika Abuya pernah ngasih pernyataan kaya gini: 

"Yeuh, jaman ayeuna mah euweuh hal nu leuwih mangpaat tibatan loba istigpar jeung maca salawat!" 

Dan menurut gue, selain relevan, ngamalin pernyataan itu tuh emang beneran bisa bikin hidup kita lebih tenang. Jadi kalo diibaratin, Istighfar itu kaya tombol "undo" buat dosa-dosa kita. 

Kita minta maaf ke Allah, dan rasanya tuh kaya narik napas panjang setelah nahan lama. Lega, beban di dada jadi berkurang. Terus, kita jadi lebih sadar, lebih hati-hati dalam melangkah ke depannya. 

Jadi, selain buat bersihin dosa, istighfar tuh bisa bikin kita lebih waspada biar ngga ngulangin kesalahan yang sama. 

Nah, kalo shalawat, ini cara kita buat tunjukin rasa sayang dan hormat ke Nabi Muhammad SAW. Selain bikin hati adem, shalawat juga dipercaya bisa ngasih banyak berkah. 

Di tengah hidup yang makin rumit dan ngga pasti kaya sekarang, siapa sih yang nggak butuh berkah? Kita sering istighfar sama baca shalawat, itu sama aja kita ngejaga koneksi kita sama Allah. 

Di tengah kesibukan yang ngga ada habisnya, kita sering lupa buat deketin diri ke Allah, padahal itu penting banget. 

Kalo hati kita deket sama Allah, masalah yang dateng tuh rasanya lebih ringan, nggak bikin kita gampang stres. 

Jadi ya, menurut gue, di zaman yang serba kacau balau ini, banyak istighfar sama baca shalawat tuh ngga ada tandingannya. 

Sederhana sih, tapi dampaknya bisa bikin hidup kita lebih tenang, damai, dan bahagia. Pas hidup mulai berat, dua hal ini bisa banget jadi obat. Cobain déh! 

3. "Kalo Emang Suka Ngeluh Mah Ya Ngeluh Aja Gapapa, Asal Ngeluhnya Sama Allah!" 

Kita semua pasti pernah ngerasa hidup ini berat banget, kan? Kadang, ada aja masalah yang bikin kepala pusing, hati sesak, dan rasanya pengen teriak. 

Nah, kalo udah gitu, biasanya apa yang kita lakuin? Ngeluh! Dan itu wajar ko, ga usah ngerasa bersalah.

Ga bisa dipungkiri, ngeluh itu udah kaya refleks buat kita. Setiap ada yang ga beres, bawaannya pengen curhat, ngeluarin unek-unek. Tapi, nih ya, ngeluh itu sebenarnya ga selamanya buruk. Yang penting kita tau tempat dan caranya.

Kalo ngeluhnya ke temen, keluarga, atau media sosial, kadang bukannya lega malah makin stres, karena belum tentu mereka paham atau bisa bantu. 

Apalagi kalau ngeluhnya terus-terusan, bisa-bisa orang di sekitar kita jadi jenuh. Makanya, daripada bikin orang lain ikut pusing, mendingan ngeluhnya langsung ke yang Maha Mendengar, yaitu Allah.

Allah tuh selalu ada buat kita, ga pernah sibuk atau cape dengerin keluhan kita. Mau curhat pagi, siang, malam, bahkan tengah malem sekalipun, Allah selalu siap. 

Curhat sama Allah itu bukan sekadar ngeluarin keluh kesah, tapi juga nunjukin kalo kita percaya sama kekuatan-Nya.

Bayangin aja, para nabi yang tingkat keimanannya luar biasa tinggi aja ngeluh ke Allah. 

Contohnya, Nabi Yakub AS yang curhat soal kesedihannya waktu kehilangan Nabi Yusuf AS. Kalo mereka aja ngeluh ke Allah, kenapa kita engga? 

"Dia (Yakub) berkata, "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku..." (QS. Yusuf: 86). 

Tapi, ngeluh ke Allah bukan berarti kita bebas ngomel-ngomel atau nyalahin keadaan, ya. Ngeluhnya tetep harus dengan adab, sopan santun, dan rasa syukur. 

Kita bisa ngomong dari hati ke hati, minta kekuatan, minta petunjuk, dan yang paling penting, tetap bersyukur meskipun lagi ada di titik terendah.

Misalnya nih, daripada bilang, "Ya Allah, kenapa hidupku berat banget?", mendingan bilang, "Ya Allah, tolong kasih aku kekuatan buat ngadepin ini semua." 

Dengan begitu, keluhan kita ga cuma jadi curhat yang melegakan, tapi juga jadi doa yang bisa memperbaiki keadaan. Cara lain yang ga kalah efektif adalah mengubah keluhan jadi doa. 

Misalnya, kalo biasanya kita ngeluh, "Aduh, cape banget kerjaan ga kelar-kelar," coba ubah jadi, "Ya Allah, semoga Engkau mudahkan semua urusanku." 

Dengan begitu, kita ga cuma ngeluh, tapi juga meminta pertolongan Allah supaya masalah kita bisa segera teratasi. Intinya, ngeluh itu manusiawi. 

Ga usah ditahan-tahan kalo emang udah mentok. Tapi, pastikan ngeluhnya ke Allah, biar hati kita tenang dan pikiran jadi lebih jernih. 

Ngeluh ke Allah itu ga cuma bikin kita lega, tapi juga bisa bikin kita ngerasa lebih deket dengan-Nya.

Jadi, kalo kamu suka ngeluh, ga usah takut dibilang lemah atau kurang bersyukur. Ngeluh aja gapapa, asal ngeluhnya sama Allah. 

Pasti deh, setelah curhat ke Allah, hati kamu bakal lebih tenang, dan Insya Allah, jalan keluar dari masalah pun akan terbuka. 

4. "Dunia Diseriusin, Akhirat Dibercandain" 

Kadang kita sering lupa, kalo hidup ini cuma numpang lewat. Kita suka sibuk banget ngejar dunia, sampe lupa ada kehidupan lain yang engga kalah pentingnya. 

Sebenernya, apa sih yang bikin kita begitu antusias ngejar dunia tapi santai banget soal urusan akhirat? 

Coba deh bayangin, pagi-pagi udah siap-siap buat kerja, rapat, meeting, ngurus bisnis, ngatur ini-itu, bahkan kadang lupa makan dan mandi saking sibuknya. 

Tapi giliran ngomongin salat, sedekah, atau hal-hal yang berbau akhirat, eh, tiba-tiba ngegas, "Ntar aja, masih ada waktu." Ini yang sering bikin kita mikir, "Dunia diseriusin, akhirat dibercandain."

Masalahnya bukan sekadar soal prioritas yang salah, tapi soal mindset. Kita sering banget ngeliat dunia ini sebagai hal yang utama. Kerja keras, ngumpulin uang, bikin prestasi, dan lain sebagainya. 

Mungkin kita lupa kalo dunia ini cuma panggung sandiwara, tempat kita nulis skenario buat cerita kita sendiri. Tapi ceritanya engga selesai di sini, gaes! 

Ada sekuel lain, dan itulah akhirat. Dan anehnya, sekuel yang paling penting malah sering kita anggap sepele. Padahal, di sanalah klimaks dari semua yang kita lakuin sekarang.

Sering denger kan, cerita orang yang baru sadar pentingnya akhirat pas udah di ujung umur? Saat udah engga bisa apa-apa, baru panik nyari pahala, nyari amalan. 

Jadi kalo diibaratin, itu tu kaya orang yang lupa bayar tagihan listrik, terus listriknya diputus, baru deh lari-lari nyari cara biar listriknya nyala lagi. Panik yang sia-sia.

Kalo dari awal kita udah ngebalance antara urusan dunia dan akhirat, nggak perlu tuh ada drama kepanikan di akhir hidup. Justru, kita bisa lebih tenang, lebih santai, karena tau udah nyiapin bekal buat kehidupan yang abadi.

Ironisnya, kita sering banget ngelucu soal hal-hal yang seharusnya kita seriusin. Sering banget denger candaan, "Ntar aja insafnya, masih muda ini." 

Padahal, siapa yang tau kita masih punya waktu atau engga? Dunia ini cuma lelucon besar kalo kita engga sadar soal makna hidup yang sesungguhnya.

Akhirnya, kita harus balik nanya ke diri sendiri, "Mau jadi pemain sandiwara yang cuma dapet tepuk tangan di panggung dunia, atau jadi pemenang yang dapet tiket VIP di akhirat?" Keputusan ada di tangan kita. 

Dunia boleh kita seriusin, tapi jangan sampai akhirat cuma jadi bahan candaan. Sebaliknya, ayo kita seriusin dua-duanya. Biar hidup engga cuma ngejar bayangan, tapi juga ngejar cahaya yang abadi.

Intinya, dunia boleh dikejar, tapi jangan lupa akhirat nggak boleh dibiarin. Jangan sampai kita jadi orang yang kebalik, serius di dunia tapi bercanda soal akhirat. Yang penting, sadar diri, hidup ini bukan cuma buat sekarang, tapi juga buat nanti.  

Kesimpulan

Gaya bahasa informal merupakan bagian penting dari komunikasi sehari-hari yang membantu membangun kedekatan dan ekspresi yang lebih bebas antara pembicara dan pendengar, atau penulis dan pembaca. 

Meskipun demikian, penting untuk memahami kapan dan di mana penggunaan bahasa ini sesuai. Dalam situasi yang memerlukan keseriusan atau formalitas, sebaiknya tetap menggunakan gaya bahasa formal. 

Dengan memahami perbedaan antara kedua gaya bahasa ini, kita dapat menjadi komunikator yang lebih efektif dan adaptif dalam berbagai konteks.