Kisah Horor Nyata Tukang Mie Tektek Keliling yang Bikin Merinding Sepanjang Malam

Kamu pasti pernah kan, beli mie tektek tengah malam? Yang gerobaknya datang sambil bunyi “tek-tek-tek” kayak ketukan pintu dunia lain. Nah, ternyata di balik aroma bawang goreng dan suara gorengan yang desis-desisan, ada kisah-kisah serem yang cuma diceritain para tukang mie tektek saat mereka ngumpul di pos ronda sambil ngerokok. Cerita-cerita ini beneran kejadian, dialami langsung, bukan sekadar rumor TikTok atau thread horor doang.

Jadi ceritanya bermula dari seorang tukang mie tektek bernama Karyo. Orangnya humble, santai, dan udah 25 tahun lebih keliling jualan di sekitaran gang sempit yang terkenal suka mati lampu. 

Katanya sih, dia nggak takut kalo cuma digonggongin anjing atau dikejar emak-emak. Tapi ada satu kejadian yang bikin dia kepikiran berhari-hari sampai nggak berani lewat jalur biasa. 

Malam itu sekitar jam setengah dua, kondisi sepi banget, angin juga dingin kayak kipas angin yang ditiupin setan. Karyo lagi dorong gerobak, mau pulang, lewat gang belakang yang jarang ada orang lewat. 

Biasanya sih gapapa, palingan cuma kucing liar atau bapak-bapak mabuk yang salah rumah. Tapi malam itu beda. Dari jauh, dia ngeliat ada sosok cewek berdiri di pojokan gang, rambut panjang nutupin muka, bajunya putih kusam kayak pakaian yang kelamaan direndam tapi nggak dicuci. Karyo mikir positif dulu—mungkin orang habis berantem sama pacarnya? Mungkin lagi nangis? 

Tapi makin dia deket, makin aneh. Ceweknya nggak gerak sama sekali. Bahkan kalo manusia normal pasti ngeliatin tukang mie lewat, minimal nanya, “Bang, masih ada?” Tapi ini diem, kaku, dingin. 

Karyo makin merinding ketika ngerasa gerobaknya jadi berat seolah ada yang nahan dari belakang. Padahal rodanya baru dia servis minggu lalu.

Karyo mempercepat langkah. Tapi tiba-tiba... suara ketukan “tek… tek… tek…” kedengeran dari dalam gerobaknya. Padahal dia lagi nggak masak apa-apa. Bukan orang yang iseng, bukan suara sendok jatuh, tapi kayak ada yang ngetuk dari dalam. 

Jantungnya langsung ngibrit duluan. Dia nengok ke arah cewek itu—dan cewek itu sekarang udah berdiri tepat di belakang gerobaknya. Padahal sedetik sebelumnya masih jauh. 

Rambutnya makin ngejulur ke bawah, hampir nyentuh tanah, dan napasnya kedengeran berat kayak bisikan dari sumur. “Adaa…?” begitu suaranya. 

Bukan "ada mie?" tapi “Adaa….” yang panjang, ngambang, dan bikin lutut auto lemes. Karyo refleks dorong gerobak sekenceng-kencengnya, sambil baca-baca doa yang dia inget. 

Tapi gang itu rasanya makin panjang, kayak nggak habis-habis. Yang bikin tambah kacau, suara ketukan dari dalam gerobak makin kenceng, makin ritmis, kayak “tok-tok-tok-tok” minta dibukain. 

Begitu keluar gang, dia baru sadar gerobaknya kosong. Bersih. Semua bahan mulai dari mie, sayur, telur, sampai mangkok plastik—hilang. Lenyap. 

Seolah-olah ada yang ngambil semuanya dalam satu kedipan mata. Karyo nangis? Nggak. Dia cuma duduk di trotoar, shock, sambil nyadar satu hal: cewek tadi nggak punya bayangan.

Dan setelah kejadian itu, beberapa pelanggan mulai cerita hal-hal aneh: mereka sering lihat sosok rambut panjang duduk di kursi kecil dekat gerobaknya. 

Kadang tamu-tamu bilang, “Bang, kenapa masak buat cewek itu dulu?” padahal Karyo masak sendirian dan nggak lihat siapa-siapa. Suara ketukan misterius tek-tek-tek kadang nongol walau gerobak lagi kosong. 

Yang bikin makin nyeremin, tiap lewat gang itu, Karyo selalu nemuin mangkok plastik lama miliknya tapi dalam kondisi penuh tanah, seolah baru dicangkul dari kuburan.

Sampai sekarang, katanya sih Karyo udah pindah rute, nggak mau jualan lewat situ. Dan yang bikin bulu kuduk naik: suara ketukan misterius itu kadang masih kedengeran dari gerobaknya, bahkan saat dia masak di tempat ramai. 

Karyo selalu bilang, “Jualan tengah malam itu bukan cuma soal ngincer pelanggan begadang, tapi soal berhadapan sama hal-hal yang jalan di jam yang sama.” Dan kalimat itu bukan omong kosong. 

Dia udah ngalamin hal-hal aneh sejak pertama kali dorong gerobak mie tektek, tapi kejadian beberapa tahun lalu itu adalah titik paling gelap dalam hidupnya. Sampai sekarang pun dia ngomongnya sambil nunduk, kayak ngelewatin lagi lorong yang sama. 

Awal tragedi itu sebenernya cukup biasa. Karyo tutup jualan agak malam karena ada rombongan anak kontrakan yang nongkrong lama. Dia kelarin gerobak, cuci-cuci sebisanya, terus siap pulang. 

Tapi jalan pulangnya harus lewat gang panjang yang udah terkenal angker. Bukan cuma kisah anak-anak, tapi tukang ojol, bapak ronda, bahkan preman setempat pun ogah lewat situ kalau udah lewat jam 11. 

Ada yang bilang sering lihat bayangan melintas, ada suara langkah, bahkan ada yang ngaku melihat sesosok anak kecil jongkok di pojokan sambil makan sesuatu yang “nggak kelihatan bentuknya”. 

Tapi malam itu Karyo capek, jadi dia nekat lewat jalur itu. “Biar cepet,” pikirnya. Langkah pertama masuk gang, udaranya langsung berubah dingin menusuk. 

Bukan dingin normal ya, tapi dingin yang kayak ada keadaan lain yang tiba-tiba nempel di kulit. Lampu kuning gang itu juga kedip-kedip, seolah nggak seneng ada manusia lewat.

Karyo dorong gerobaknya pelan. Roda gerobak gesekannya terdengar jelas, nyaring, kayak dilama-lamain sama keadaan sekitar. Baru beberapa meter masuk, dia mulai denger suara bisikan kecil di kiri-kanan. 

Nggak jelas ngomong apa, tapi nadanya kayak orang lagi nahan ketawa. Bukan satu suara, tapi banyak, tumpuk-tumpukan kayak orang ngobrol di pasar, tapi pelan, sembunyi-sembunyi. Karyo stop sebentar. Nadinya langsung naik. Keringet dingin. Tapi dia paksa jalan lagi. 

Sampai akhirnya muncul sosok itu. Seorang perempuan berdiri membelakangi Karyo, rambut panjang sampai hampir nyapu lantai, bajunya putih kusam kayak dicelup lumpur. 

Tapi bukan itu yang bikin jantung Karyo hampir copot. Di bawah kaki perempuan itu ada genangan air hitam, pekat kayak aspal cair. Genangannya pelan-pelan melebar, mengalir ke arah roda gerobak.

Karyo langsung berhenti. Mau balik badan pun rasanya kakinya nyangkut di lantai. Perempuan itu nggak bergerak. Tapi rambutnya perlahan naik sedikit, kayak tertiup angin padahal gang itu nggak ada angin sama sekali.

Tiba-tiba, dari dalam gerobaknya terdengar ketukan. “tek… tek… tek…” Kenceng. Teratur. Dan jelas bukan bunyi alat masak kejedot. Bunyinya kayak jari—atau sesuatu yang punya kuku panjang—lagi ngetuk kayu dari dalam.

Karyo gemetar. Dia dorong gerobak mundur pelan. Tapi baru beberapa langkah, perempuan itu tiba-tiba menghilang. Nggak lari, nggak bergerak, tapi literally hilang kayak bayangan kena sapu.

Dan detik berikutnya, suara ketukan itu berubah jadi hentakan: “TOK! TOK! TOK! TOK!” Gerobak bergetar. Bener-bener getar kayak ada orang ngamuk dari dalam. 

Karyo panik, langsung putar balik, dorong gerobak sekuat tenaga. Tapi gang itu berubah. Biasanya cuma butuh jalan 40 meter buat keluar, tapi kali ini kayak nggak ada ujungnya. 

Setiap belok kecil yang dia hapal, berubah jadi sudut gelap tak berujung. Lampu-lampu yang tadi nyala kedip-kedip, sekarang mati satu per satu. Gelap total.

Karyo mulai denger suara langkah kecil berlari di belakangnya. Tapi bukan satu orang—kayak banyak. Kayak segerombolan bocah lari tanpa napas. Kadang ngikik. Kadang nangis. Kadang memanggil-manggil namanya. “karyo… yo… Karyo…”

Dia nengok sekali, dan dia langsung nyesel. Di belakang, beberapa sosok kecil berlarian. Tapi tubuh mereka hitam pekat seperti arang gosong. Mata mereka bolong kayak rongga kosong. 

Dan tangan mereka panjang melebihi lutut, kayak dipaksa tarik secara nggak natural. Mereka lari cepat, tapi kaki mereka nggak menapak tanah.

Karyo teriak dan dorong gerobaknya sampai hampir kebalik. Nafasnya sesak. Badannya panas-dingin. Dunia sekitarnya mulai berputar. Sampai akhirnya dia lihat cahaya kecil di ujung gang.

Dia langsung lari ke arah situ. Begitu nyampe keluar gang, dia jatuh tersungkur sambil megap-megap. Cahaya itu ternyata lampu pos ronda. Dua bapak ronda kaget banget lihat Karyo pucat, lemes, dan ngelihat ke belakang kayak lagi dikejar maut. 

Begitu mereka bantu berdiriin gerobaknya, mereka sama-sama shock. Gerobaknya kosong total. Bukan hilang karena dicuri. Tapi bener-bener kosong rapih kayak belum pernah dipake. 

Wajan bersih, kompor hilang, mangkok lenyap, bahan semua nggak ada. Bahkan bumbu-bumbu yang biasanya nempel di celah kayu pun nggak ada sisa.

Yang tersisa cuma bekas telapak tangan hitam—kecil-kecil—di bagian dalam gerobak. Dan telapak itu panas kayak baru nempel dari makhluk hidup.

Sejak malam itu, Karyo berhenti jualan selama dua bulan. Dia sering kebangun jam 2 pagi karena denger suara ketukan: “tek… tek… tek…” Padahal gerobaknya disimpan di gudang dan dikunci.

Kadang dia ngerasa ada yang duduk di bangku kecil tempat pelanggan biasanya nunggu mie. Kadang ada bayangan rambut panjang lewat di kaca dapurnya. Kadang dia mencium bau mie gosong padahal dia lagi nggak masak apa-apa.

Sampai sekarang, setiap dia lewat gang itu, dia selalu menemukan satu mangkok mie kosong diletakkan rapi di tengah jalan. Mangkok yang sama yang hilang malam itu. Tapi isinya selalu sama: Tanah basah dan sehelai rambut panjang. #Urban Legend