Kenangan Ramadan Tempo Dulu "Ceramah KH Zainuddin MZ di Radio Menjelang Magrib"
Ada satu kenangan yang kalau diingat sekarang rasanya hangat banget di dada: mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ di radio pada sore hari saat bulan Ramadhan.
Buat banyak orang, terutama yang tumbuh sebelum era YouTube, TikTok, dan podcast, momen ini semacam ritual tak tertulis.
Sore menjelang magrib, matahari mulai turun, udara agak lengket, perut mulai demo halus, tapi telinga justru dimanjakan sama suara khas yang tenang tapi nyeletuk.
Radio kecil di sudut rumah atau di ruang tamu jadi pusat perhatian, bahkan kadang volumenya dinaikin sedikit biar semua kebagian dengar, dari anak-anak sampai orang tua. Rasanya Ramadan belum resmi dimulai kalau belum dengar ceramah beliau.
Gaya ceramah KH Zainuddin MZ itu unik banget, beda dari yang lain. Bahasannya berat, soal iman, akhlak, kehidupan, tapi dibungkus dengan bahasa yang ringan, penuh perumpamaan, dan sering diselipi humor receh yang kena.
Kadang kita ketawa, kadang juga langsung keinget dosa sendiri. Lucunya, walau cuma lewat radio dan nggak lihat wajahnya, penyampaiannya tuh hidup.
Seolah-olah beliau duduk di depan kita, ngobrol santai tapi nancep. Bahkan orang yang awalnya cuma “numpang denger” sambil tiduran atau nunggu buka puasa, ujung-ujungnya jadi fokus.
Suasana sore Ramadan waktu itu juga ikut memperkuat kenangan. Di luar rumah, suara anak-anak main petasan atau ngabuburit naik sepeda masih terdengar.
Dari dapur, aroma gorengan mulai menyebar, ibu sibuk nyiapin takjil, ayah kadang pura-pura sibuk baca koran tapi telinganya nyantol ke radio.
Sementara itu, suara KH Zainuddin MZ mengalun, membahas tentang kesabaran orang puasa, pahala kecil yang sering diremehkan, atau sindiran halus soal manusia yang rajin ibadah tapi masih suka nyinyir. Kombo yang pas banget: lapar, capek, tapi hati adem.
Yang bikin ceramah beliau nempel di ingatan itu karena relevan sama kehidupan sehari-hari. Nggak melulu soal surga neraka yang jauh, tapi soal tetangga, soal kejujuran, soal suami istri, soal mendidik anak.
Kadang kita yang masih bocah waktu itu nggak sepenuhnya paham, tapi entah kenapa kalimat-kalimatnya ke-save di kepala. Baru pas dewasa, maknanya kebuka satu-satu.
Dan di situ kita sadar, “ternyata dari dulu udah dikasih nasihat, cuma kitanya aja yang belum nyampe.”
Sekarang, di era serba digital, ceramah bisa diakses kapan aja, tinggal klik. Tapi anehnya, rasa yang dulu itu susah banget diulang.
Mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ di radio saat sore Ramadan bukan cuma soal isi ceramahnya, tapi soal momennya.
Tentang kebersamaan, tentang kesederhanaan, tentang jeda sejenak sebelum azan magrib berkumandang.
Kenangan itu jadi semacam arsip batin, yang kalau dibuka lagi, langsung bawa kita pulang ke masa ketika hidup terasa lebih pelan, lebih hangat, dan lebih bermakna.