Menjelang Waktu Berbuka Puasa Ramadhan Era 90an
Langit senja di kampung halaman nenek mulai memerah. Udara terasa sejuk, membawa aroma kolak pisang dan masakan dari dapur-dapur tetangga.
Di ruang tengah, nenek sibuk menata hidangan berbuka di atas meja. Kakek duduk di kursi, memutar kenop #radio jadul. Suara statis sesekali mengganggu, namun tak mengurangi antusiasme kami.
"Sebentar lagi, gaes," kata kakek, matanya tak lepas dari jarum jam dinding. "Kita dengarkan ceramah dari KH Zainuddin MZ dulu."
Saya dan yang lainnya duduk bersila di karpet hijau, menanti suara khas itu. Tak lama kemudian, suara merdu dan lantang itu pun terdengar.
![]() |
📷: eiji electronic |
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Hakikat puasa adalah membentuk manusia yang bertakwa.
Intinya pengendalian diri, agar kita terhindar dari sifat-sifat tercela, sekaligus memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Masih banyak saudara-saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bulan ini penuh berkah rahmat dan ampunan, semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan ibadah. Āmīn yarobbalallamin."
Kalau di bulan ini diberikan keluasan rizki, jangan lupa! Di sana ada hak anak-anak yatim, janda-janda tua, orang-orang jompo yang tidak mampu, yang hak itu harus kita berikan kepada mereka.
Dai Sejuta Umat
Suara KH Zainuddin MZ, sang Dai Sejuta Umat, memenuhi ruang tengah rumah nenek. Ceramahnya selalu dinanti-nanti, bukan hanya karena isi yang penuh makna, tetapi juga karena gaya penyampaiannya yang jenaka dan memikat. Beliau mampu membuat kami tertawa, berpikir, dan merenung dalam waktu yang bersamaan.
Tema ceramah sore itu tentang Bulan Ramadhan. Beliau bercerita tentang kisah-kisah inspiratif dari masa lalu, diselingi dengan humor segar yang membuat kami tertawa. Kakek mengangguk-angguk setuju, sementara nenek sesekali menimpali dengan gumaman "Benar sekali, Kiai."
Ngabuburit dan Petasan Bawang
Di luar rumah, suara petasan bawang bersahutan. Anak-anak kampung berlarian, riang gembira menghabiskan waktu ngabuburit. Aku teringat masa kecilku, saat ikut bermain petasan dan mencari takjil di masjid dekat rumah.
Dulu, ngabuburit tak semewah sekarang. Tak ada mal atau kafe tempat nongkrong. Kami cukup bermain di lapangan atau berkumpul di masjid, mendengarkan kajian Ramadan. Kesederhanaan itu justru membuat Ramadan terasa lebih istimewa.
Azan Magrib dan Kebersamaan
Tepat saat Kiai Zainuddin mengakhiri ceramahnya, azan magrib berkumandang dari masjid. Kami segera bergegas menuju meja makan, siap untuk berbuka puasa. Kurma dan kolak pisang menjadi hidangan pembuka, diikuti dengan nasi dan lauk pauk sederhana namun nikmat.
Setelah salat magrib berjamaah, kami kembali berkumpul di ruang tengah. Kakek bercerita tentang kenangan masa kecilnya saat Ramadan, sementara Nenek menambahkan dengan kisah-kisah inspiratif dari para tetangga. Suasana hangat dan penuh keakraban itu membuat saya merasa bersyukur memiliki keluarga yang harmonis.
Kenangan yang tak Terlupakan
Malam itu, sebelum tidur, saya merenungkan kembali ceramah KH Zainuddin MZ. Pesan-pesan beliau tentang persatuan, toleransi, dan akhlak mulia terasa begitu relevan dengan kehidupan saat ini. Saya berjanji pada diri sendiri untuk selalu menjaga nilai-nilai luhur itu, seperti yang diajarkan oleh sang Dai Sejuta Umat tersebut.
Kenangan Ramadan era 90-an, dengan segala kesederhanaan dan kebersamaannya, akan selalu tersimpan indah. Suara KH Zainuddin MZ di radio, tawa riang anak-anak kampung, dan kehangatan keluarga di ruang tengah, semuanya menjadi bagian dari mozaik indah yang tak terlupakan. #Postingan Lainnya