Sejarah Sumedang dengan Tinjauan Mendalam dari Masa Kerajaan hingga Era Modern

Kabupaten Sumedang, yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, merupakan wilayah dengan warisan sejarah yang kaya dan beragam. Dari catatan kuno hingga era modern, Sumedang telah memainkan peran penting dalam lanskap politik, budaya, dan ekonomi Jawa Barat. 

Wilayah ini, yang kini berstatus sebagai kabupaten, dahulunya merupakan sebuah kerajaan yang berdaulat, menyimpan jejak-jejak peradaban yang patut ditelusuri dan dipahami. Postingan ini bertujuan untuk menyajikan tinjauan mendalam mengenai sejarah Sumedang, mulai dari asal-usul namanya hingga perkembangannya pada masa kemerdekaan. 

Dengan memanfaatkan berbagai sumber penelitian yang tersedia, postingan ini akan mengupas periode-periode penting, tokoh-tokoh kunci, peristiwa bersejarah, serta warisan budaya yang membentuk identitas Sumedang hingga saat ini. Lokasi geografis Sumedang di Jawa Barat menempatkannya dalam kawasan yang secara historis dinamis, dipengaruhi oleh berbagai kerajaan dan kekuatan kolonial. 

Transformasi Sumedang dari sebuah kerajaan menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia mencerminkan pola yang umum terjadi dalam sejarah Indonesia, di mana entitas-entitas regional secara bertahap terintegrasi ke dalam kekuasaan yang lebih sentralistik. 

Mengungkap Makna di Balik Nama Sumedang

Nama "Sumedang" memiliki akar etimologis yang beragam dan kaya akan makna. Berbagai interpretasi mengenai asal-usul nama ini tercatat dalam berbagai sumber. Salah satu penjelasan utama menghubungkannya dengan frasa dalam bahasa Sunda, "Insun Medal" atau "Insun Medangan". Frasa ini secara harfiah dapat diartikan sebagai "Aku dilahirkan" atau "Aku menerangi." Interpretasi ini memiliki kaitan erat dengan sosok legendaris Prabu Tajimalela. Menurut catatan, Prabu Tajimalela pernah mengucapkan kalimat "Insun medal, insun madangan," yang berarti "aku lahir untuk memberikan penerangan". Perkataan ini diyakini diucapkan saat penobatan putra keduanya, Gajah Agung. Sementara itu, data dari Museum Prabu Geusan Ulun memberikan interpretasi lain, yaitu "Insun Medal" sebagai "Daya" (kekuatan) dan "Madangan" (terang). 

Secara fonetis, "Insun Madangan" mengalami perubahan pengucapan menjadi "Sun Madang," yang kemudian bertransformasi menjadi "Sumedang". Selain itu, terdapat pula pendapat bahwa kata "Sumedang" berasal dari "Insun Medal" yang mengalami perubahan pengucapan serupa. Sering kali, nama Sumedang diikuti oleh kata "Larang," yang memiliki arti "sesuatu yang tidak ada tandingannya" atau "jarang bandingannya". 

Secara etimologis, "Sumedang Larang" dapat dianalisis lebih lanjut. Kata "Su" berarti bagus atau mulia, "Medang" berarti luas, dan "Larang" berarti jarang bandingannya. Dengan demikian, "Sumedang Larang" dapat diartikan sebagai "tanah bagus yang luas dan tidak ada bandingannya". 

Sebelum dikenal dengan nama Sumedang Larang, wilayah ini memiliki nama lain. Pada abad ke-12, kerajaan ini bernama Tembong Agung ("Tembong" berarti tampak dan "Agung" berarti luhur) dan dipimpin oleh Prabu Guru Adji Putih. Kemudian, pada masa Prabu Tajimalela, namanya diubah menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Penting untuk dicatat bahwa frasa "Insun Medal" masih tertulis di logo Kabupaten Sumedang, menunjukkan betapa pentingnya asal-usul nama ini bagi identitas daerah. 

Keberagaman interpretasi etimologis nama Sumedang mengindikasikan kekayaan tradisi lisan dan kemungkinan evolusi nama tersebut seiring berjalannya waktu. Penyertaan "Insun Medal" dalam logo kabupaten menegaskan signifikansi frasa ini sebagai fondasi identitas Sumedang. Makna "Sumedang Larang" yang menekankan keunikan dan keunggulan kemungkinan mencerminkan persepsi historis kerajaan mengenai kekuatannya atau kepentingan strategisnya. 

Era Kerajaan Sumedang Larang dari Pendirian hingga Puncak Kejayaan

Kerajaan Sumedang Larang berawal sebagai pecahan dari kerajaan Sunda-Galuh. Kerajaan ini didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran. Seiring waktu, Sumedang Larang mengalami beberapa periode penting. Awalnya, kerajaan ini menjadi bagian dari kerajaan Pajajaran. Kemudian, pada tahun 1530, setelah Ratu Pucuk Umun menikah dengan Sunan Gunung Jati, Sumedang Larang menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon. 

Setelah peristiwa Harisbaya pada tahun 1585, Sumedang Larang mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat dan terlepas dari Cirebon. Masa pemerintahan Pangeran Angkawijaya, yang bergelar Prabu Geusan Ulun (1578-1601), merupakan puncak kejayaan Kerajaan Sumedang Larang. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa Barat, kecuali Banten dan Cirebon. 

Pada tahun 1620, di bawah pemerintahan Prabu Aria Suriadiwangsa, Sumedang Larang bergabung dengan Kesultanan Mataram. Statusnya diturunkan dari kerajaan menjadi kabupaten di bawah Mataram. Selama penyerangan Sultan Agung ke Batavia, Sumedang Larang berperan sebagai penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka juga diperkenalkan di wilayah Parahyangan pada masa ini. 

Beberapa tokoh penting berperan dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Prabu Guru Aji Putih mendirikan Kerajaan Tembong Agung. Prabu Tajimalela dikenal sebagai pencetus nama Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun memimpin pada masa transisi ke pengaruh Cirebon. Pangeran Santri berperan dalam penyebaran Islam. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir kerajaan yang berdaulat. 

Peristiwa penting lainnya termasuk transfer Mahkota Binokasih dari Kerajaan Pajajaran kepada Prabu Geusan Ulun, yang melambangkan peralihan kekuasaan. Kerajaan Sumedang Larang akhirnya runtuh karena tekanan dari Kesultanan Mataram, Banten, dan Cirebon, dan memilih untuk bergabung dengan Mataram pada tahun 1620. 

Letak strategis Sumedang Larang di dataran tinggi yang subur dikelilingi pegunungan dan sungai memudahkan pertanian dan perdagangan. Pada masa kejayaannya, Sumedang Larang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan tekstil, serta menjalin hubungan dagang dengan kerajaan tetangga seperti Mataram, Banten, dan Cirebon. 

Sumedang di Bawah Dominasi Asing Adalah Dampak Kekuasaan Kolonial

Pada awal abad ke-18, Sumedang berada di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) setelah Mataram menyerahkan wilayahnya kepada perusahaan dagang Belanda tersebut. VOC kemudian membagi-bagi wilayah Jawa Barat menjadi beberapa kabupaten, termasuk Sumedang. Di bawah kekuasaan VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda, Sumedang menjadi bagian dari Keresidenan Priangan. 

Pemerintahan kolonial Belanda membangun infrastruktur penting di Sumedang, termasuk Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang melintasi Cadas Pangeran. Pembangunan jalan ini melibatkan kerja paksa (kerja rodi) yang berat dan menimbulkan banyak korban jiwa. Pangeran Kusumadinata IX (Pangeran Kornel) menunjukkan sikap perlawanan terhadap kebijakan kerja paksa ini. 

Selain infrastruktur, Belanda juga membangun benteng-benteng pertahanan di Sumedang, seperti Benteng Gunung Kunci yang dibangun pada masa Perang Dunia I  dan Benteng Pasir Laja. Benteng-benteng ini menjadi bukti kedigdayaan kolonial Belanda di Sumedang. 

Pemerintah kolonial juga menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) di Jawa, termasuk di wilayah Sumedang. Sistem ini memaksa petani menanam tanaman komoditas ekspor seperti kopi dan gula, yang sering kali menyebabkan kesulitan ekonomi dan kelaparan bagi penduduk lokal. 

Meskipun dominasi kolonial, Sumedang tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai kota kuno dengan tata ruang "Catur Gatra Tunggal," yaitu alun-alun sebagai pusat kota yang dikelilingi masjid agung, penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun berdiri Monumen Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. 

Bangunan-bangunan seperti Gedung Srimanganti (Museum Prabu Geusan Ulun), Gedung Bumi Kaler, Gedung Gendeng, dan Gedung Negara menjadi saksi bisu kekuasaan kolonial di Sumedang. 

Sumedang dalam Pusaran Kemerdekaan Revolusi Nasional (1945-1949)

Sumedang turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada periode 1945-1949. Pada masa transisi setelah proklamasi kemerdekaan, Sumedang memiliki "Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia" (1945-1946) dan "Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia" (1947-1949). Bahkan, sempat ada "Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan" (1949-1950), yang menunjukkan dinamika politik yang kompleks pada masa itu. 

Salah satu peristiwa penting yang terjadi di Sumedang adalah Long March Divisi Siliwangi pada akhir tahun 1948 dan awal tahun 1949. Pasukan Divisi Siliwangi melakukan perjalanan dari Yogyakarta kembali ke Jawa Barat setelah agresi militer Belanda kedua. Salah satu batalion yang terlibat dalam Long March ini adalah Batalion 3001 Prabu Kiansantang, yang kemudian terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Ciseupan, Subang, yang berdekatan dengan Sumedang. Pertempuran Ciseupan pada tanggal 5 Februari 1949 menjadi bukti adanya perlawanan bersenjata di wilayah sekitar Sumedang. 

Meskipun tidak ada catatan rinci mengenai keterlibatan milisi lokal Sumedang, semangat revolusi kemerdekaan yang melanda seluruh Indonesia kemungkinan besar juga mempengaruhi masyarakat Sumedang untuk turut berjuang. Beberapa tokoh nasional yang memiliki kaitan dengan Jawa Barat, seperti Wikana yang lahir dari keluarga menak di Sumedang, turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan. Selain itu, Cut Nyak Dhien, pahlawan nasional dari Aceh, juga diasingkan ke Sumedang oleh Belanda, menunjukkan bahwa Sumedang memiliki kaitan dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. 

Sumedang Pasca Kemerdekaan Pembangunan dan Transformasi

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sumedang secara resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Pada tanggal 7 Maret 1950, Sumedang secara resmi menjadi kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Bandung. 

Sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung perekonomian Sumedang pasca kemerdekaan. Selain itu, perdagangan, terutama dengan ikon kuliner Tahu Sumedang yang telah dikenal luas sejak tahun 1917, juga menjadi penting. Seiring berjalannya waktu, sektor pendidikan dan kesehatan juga mengalami perkembangan. Keberadaan beberapa perguruan tinggi di Jatinangor, seperti IPDN, UPI, ITB, dan Unpad, menunjukkan fokus pada pengembangan sumber daya manusia. 

Pemerintah Kabupaten Sumedang juga berupaya melestarikan warisan budaya Sunda yang kaya, termasuk seni tradisional seperti Tarawangsa dan Kuda Renggong. Museum Prabu Geusan Ulun terus berperan penting dalam menjaga dan memamerkan artefak sejarah dan budaya Sumedang. 

Sumedang kini menjadi bagian dari kawasan metropolitan Bandung Raya, menunjukkan keterikatannya dengan pusat pertumbuhan ekonomi dan sosial yang lebih besar. Pengembangan infrastruktur dan potensi pariwisata, terutama di sekitar Waduk Jatigede, menjadi fokus dalam beberapa tahun terakhir. 

Warisan Sejarah dan Budaya Jejak Masa Lalu Sumedang

Sumedang memiliki warisan sejarah dan budaya yang kaya, tercermin dalam berbagai situs dan tradisi yang masih lestari hingga kini. Museum Prabu Geusan Ulun, yang terletak di pusat kota Sumedang, merupakan salah satu penjaga utama warisan kerajaan. Museum ini menyimpan berbagai artefak penting, termasuk Mahkota Binokasih yang merupakan mahkota kebesaran Kerajaan Pajajaran yang diwariskan kepada Prabu Geusan Ulun. Selain itu, terdapat pula Keris Panunggul Naga milik Prabu Geusan Ulun dan Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda. Koleksi museum juga meliputi kereta kencana (Kareta Kencana Naga Paksi) dan berbagai perangkat gamelan kuno. 

Kompleks museum juga meliputi beberapa bangunan bersejarah lainnya, seperti Gedung Srimanganti yang dibangun pada tahun 1706 , Bumi Kaler (1850) , Gedung Gendeng (1850) yang menyimpan pusaka , dan Gedung Negara (1850). 

Di luar kompleks museum, terdapat situs-situs bersejarah lainnya. Tahura Gunung Kunci, kawasan hutan rakyat, dulunya merupakan benteng pertahanan Belanda yang dibangun pada awal abad ke-20. Benteng Darmaga Darangdan dan benteng-benteng lain seperti Benteng Pasir Laja dan Benteng Pasirkolecer juga menjadi saksi bisu masa kolonial. Di tengah kota, berdiri tegak Monumen Lingga yang dibangun pada tahun 1922. Kampung Muhara dan Situs Tembong Agung di Darmaraja memiliki kaitan dengan masa awal kerajaan. Bekas rumah tinggal Cut Nyak Dhien juga menjadi situs bersejarah di Sumedang. 

Warisan budaya tak benda Sumedang juga sangat kaya. Seni pertunjukan seperti Kuda Renggong , Tarawangsa , Umbul , Bangreng , dan Ketuk Tilu Cikeruhan  masih lestari. Upacara adat seperti Ngalaksa  dan Hajat Lembur  juga terus dilaksanakan. 

Menelusuri Catatan Sejarah Sumber dan Historiografi Sumedang

Sejarah Sumedang terdokumentasi dalam berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Salah satu sumber utama adalah Babad Sumedang, sebuah kronik sejarah yang ditulis dalam bahasa Sunda. Karya ini, terutama yang ditulis oleh R.A.A. Martanagara, mengisahkan sejarah para penguasa Sumedang dan peristiwa-peristiwa penting, khususnya masa Kerajaan Sumedang Larang. Berbagai versi Babad Sumedang ditemukan dalam bentuk manuskrip kuno, baik yang ditulis dalam aksara Pegon maupun Latin. 

Sumber lain yang penting adalah Kitab Waruga Jagat dan Buku Rucatan Sejarah, serta disertasi Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, yang menjadi rujukan utama dalam menetapkan hari jadi Kabupaten Sumedang. Tradisi lisan dan legenda lokal juga berperan dalam melestarikan memori sejarah masyarakat Sumedang. 

Museum Prabu Geusan Ulun menjadi pusat penting untuk penelitian sejarah Sumedang, menyimpan berbagai artefak dan dokumen bersejarah. Berbagai penelitian ilmiah dan publikasi juga telah dilakukan untuk mengkaji sejarah Sumedang dari berbagai perspektif. Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sumedang juga berperan dalam melestarikan dan mendokumentasikan arsip-arsip sejarah. 

Warisan Abadi Sumedang

Sejarah Sumedang adalah perjalanan panjang yang mencerminkan dinamika kekuasaan, budaya, dan masyarakat di Jawa Barat. Dari kerajaan yang berdaulat hingga menjadi bagian dari Indonesia modern, Sumedang telah melalui berbagai periode penting yang membentuk identitasnya. Warisan para penguasa, kekayaan tradisi budaya, dan situs-situs bersejarah yang masih lestari menjadi bukti kekayaan masa lalu Sumedang. Memahami sejarah Sumedang tidak hanya penting bagi masyarakat lokal, tetapi juga memberikan wawasan berharga tentang konteks sejarah Indonesia secara keseluruhan. Ketahanan identitas budaya Sumedang, di tengah perubahan zaman dan pengaruh eksternal, menunjukkan kekuatan tradisi lokal dalam mempertahankan ciri khas komunitasnya. 

Penguasa Kerajaan Sumedang Larang 

1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 696 - 721 M
2. Batara Tuntang Buana (Prabu Tadjimalela) 721 - 778 M
3. Jayabrata (Prabu Lembu Agung) 778 - 893 M
4. Atmabrata (Prabu Gajah Agung) 893 - 998 M
5. Jayabaya (Prabu Pagulingan) 998 - 1114 M
6. Mertalaya (Sunan Guling) 1114 - 1237 M
7. Tirtakusuma (Sunan Tuakan) 1237 - 1462 M 
8. Sintawangi (Nyi Mas Ratu Patuakan) 1462 - 1530 M
9. Satyasih (Ratu Inten Dewata Pucuk Umum) 1530 - 1578 M
10. Pangeran Kusumahdinata II (Prabu Geusan Ulun) 1578 - 1601 M
11. Pangeran Suriadiwangsa (Rangga Gempol I) 1601 - 1625 M
12. Pangeran Rangga Gede (Kusumahdinata IV) 1625 - 1633 M 

Bupati Sumedang Masa Kolonial 

1. Dalem Adipati Tanumadja 1706 - 1709
2. Pangeran Karuhun (Rangga Gempol IV) 1709 - 1744
3. Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
4. Dalem Adipati Kusumadinata VIII (Dalem Anom) 1759 - 1761
5. Dalem Adipati Surianagara II 1761 - 1765
6. Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
7. Dalem Adipati Tanubaya 1773 - 1775
8. Dalem Adipati Putrakusumah 1775 - 1789 
9. Dalem Adipati Sacapati 1789 - 1791
10. Pangeran Kusumadinata IX (Pangeran Kornel) 1791 - 1828
11. Dalem Adipati Kusumayuda (Dalem Ageung) 1828 - 1833
12. Dalem Adipati Kusumadinata X (Dalem Alit) 1833 - 1834
13. Tumenggung Suriadilaga (Dalem Sindangraja) 1834 - 1836
14. Pangeran Suria Kusumah Adinata (Pangeran Sugih). 1836 - 1882
15. Pangeran Aria Suriaatmadja (Pangeran Mekkah). 1882 - 1919 
16. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga (Dalem Bintang). 1919 - 1937
17. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata (Dalem Aria) 1937 - 1946 

Beberapa Kuliner Saat Ini di Sumedang Tandang