Melacak Jejak Kenangan: Membawa Kembali Suasana Bulan Ramadhan di Era 90an By Holidincom
Di sebuah kampung kecil yang tersembunyi dekat kuburan, terdapat kenangan indah tentang Bulan Ramadhan di era 90an yang tetap hidup dalam ingatan penduduknya.
Cerita ini dimulai ketika seorang nenek bijak, Nenek Gayung, bercerita kepada saya, tentang masa kecilnya di kampung itu.
Setiap tahun, ketika Ramadhan tiba, kampung tersebut berubah menjadi pemandangan yang bercahaya oleh cahaya bulan, bintang, obor, dan lentera-lentera tradisional.
Nenek Gayung bercerita tentang suasana kampung yang gemerlap menjelang berbuka, dihiasi dengan beranekaragam kolak, biji salak, candil, bubur kacang, sop buah, kurupuk emih + sambel goang cair, dan kurma yang dipajang berantakan.
Saya pun seketika membayangkan keramaian kampung tersebut dengan aroma harum makanannya yang sudah pasti menggangu indra penciuman.
"Ingatlah, saat itu kita tidak hanya menantikan waktu berbuka puasa, tetapi juga bersiap-siap untuk beribadah dan berbagi dengan sesama," kata Nenek Gayung dengan senyum hangat.
Cerita Nenek Gayung melanjutkan ke tradisi berbuka puasa di rumah mereka. Setiap hari, keluarga besar berkumpul di ruang tamu dengan beralaskan karpet berwarna hijau.
Mereka saling berbagi cerita hari itu dan berdoa bersama sebelum memulai santap berbuka. Saya seakan merasa terhubung dengan kehangatan keluarga nenek, seolah-olah saya pun turut hadir ikut ngariung dan duduk di atas karpet hijau tersebut.
Suasana penuh keceriaan juga menyelimuti malam Lailatul Qadr. Nenek Gayung bercerita tentang bagaimana seluruh warga kampung berkumpul di masjid dengan lentera dan obor, menciptakan pemandangan yang memukau.
Mereka berdoa dengan penuh khidmat, mencari malam yang penuh berkah tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, kampung kecil itu pun ikut berubah.
Modernisasi merambah, dan teknologi mengubah cara hidup mereka. Mesjid tradisional yang sebelumnya menjadi pusat kegiatan spiritual digantikan oleh bangunan modern.
Meskipun kampung itu menjadi lebih sibuk dan terkoneksi dengan dunia luar, sebagian dari kehangatan dan kebersamaan di masa lalu mulai terkikis.
Saya, yang begitu terpukau dengan cerita nenek gayung, merasa tertantang untuk membawa kembali nuansa Ramadhan di zaman dulu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mengajak seluruh warga kampung untuk berpartisipasi dalam kegiatan berbuka puasa bersama di lapangan terbuka dekat sawah.
Saya ingin menghidupkan kembali semangat kebersamaan dan berbagi yang selama ini mulai memudar.
Dengan semangat yang berkobar-kobar, saya dan seluruh warga kampung mulai mempersiapkan acara berbuka puasa bersama.
Mereka menghiasi lapangan dengan lentera-lentera tradisional, menyiapkan hidangan lezat, dan mengundang segenap umat manusia.
Seiring matahari terbenam, suara adzan berkumandang, dan kampung kecil itu kembali hidup dengan nuansa Ramadhan yang dirindukan.
Berbuka puasa bersama di lapangan terbuka membawa kembali kehangatan dan kebersamaan di antara penduduk kampung.
Terlihat senyuman pada wajah setiap orang, terutama di wajah nenek gayung yang sepertinya teringat akan masa kecilnya.
Tradisi itu menjadi warisan yang dijaga bersama, memberikan harapan baru untuk menjaga keindahan kenangan Bulan Ramadhan di zaman dulu agar tetap terjaga dan terus hidup di hati kita semua.
Bulan Ramadhan selalu memancarkan keindahan dan keberkahan bagi umat Muslim. Namun, saat kita merenung tentang masa lalu, nostalgia akan masa kecil dan kenangan bulan suci ramadhan pada zaman dulu begitu menggetarkan hati.
Mari kita merenung bersama dan menyusuri jejak kenangan indah tersebut. Bulan Ramadhan di zaman dulu membawa nuansa yang begitu khas.
Suasana keramaian di pilemburan menjelang waktu berbuka, aroma makanan yang membuat perut menjadi semakin lapar, dan keramahtamahan yang memeluk seluruh warga desa menjadi bagian tak terpisahkan dari kenangan tersebut.
Desa-desa kecil menjadi saksi bisu dari indahnya Ramadhan di masa lalu. Setiap rumah memancarkan cahaya kebahagiaan, sementara masjid sederhana menjadi pusat kegiatan spiritual.
Anak-anak bermain dengan petasan dan kembang api di tangan, sementara orang tua sibuk mempersiapkan hidangan untuk berbuka puasa bersama.
Tradisi berbuka puasa di zaman dulu memiliki daya magis tersendiri. Sambil menonton kultum dari kh zainuddin mz, orang-orang berkumpul mengelilingi menu yang telah disiapkan dengan penuh semangat.
Kolak pisang, candil, biji salak, bubur lemu, kurma, dan hidangan khas Bulan Ramadhan lainnya menjadi penanda keberkahan waktu berbuka puasa.
Cerita dan tawa riang melingkupi teras rumah yang beralaskan karpet hijau, menciptakan momen yang tak terlupakan. Malam Lilikuran selalu menjadi puncak kebahagiaan di bulan Ramadhan.
Meskipun pada masa itu teknologi belum secanggih sekarang, semangat untuk memeriahkan malam lilikuran itu begitu tinggi.
Masjid-masjid dipenuhi dengan opieun seperti opak, ranginang, wajit, kulub jagong, nasi tumpeng, liwet, bakakak, kopi, roko, dan sebagainya.
Sementara, warga desa berkumpul untuk beribadah dan berdoa, menciptakan suasana khidmat yang sulit dilupakan.
Bulan Ramadhan di zaman dulu tidak hanya tentang beribadah, tetapi juga tentang berbagi dengan sesama.
Masyarakat saling membantu dan berkontribusi untuk membantu yang membutuhkan.
Program berbagi makanan dan paket sembako menjadi tradisi yang mewarnai kebersamaan di tengah kebersihan hati yang diperoleh melalui ibadah puasa.
Sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu dan modernisasi, beberapa tradisi Ramadhan di zaman dulu mulai pudar.
Pasar tradisional digantikan oleh bangunan modern, dan kebersamaan di atas karpet hijau berkurang karena aktivitas media sosial masing-masing.
Namun, ada keindahan tersendiri dalam memori tersebut yang tetap hidup di hati setiap individu.
Meskipun banyak yang berubah, kita dapat membawa kembali nuansa Ramadhan di zaman dulu ke dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali tradisi berbuka puasa bersama keluarga, berbagi dengan sesama, dan merayakan waktu ngabuburit dengan khidmat dapat menjadi cara untuk mengenang dan menghormati kenangan masa lalu.
Melacak jejak kenangan bulan Ramadhan pada era 90an memberikan kita pelajaran berharga tentang arti kebersamaan, berbagi, dan kebahagiaan yang sederhana.
Meskipun waktu terus berjalan, kita dapat menghidupkan kembali semangat dan nilai-nilai tersebut agar keindahan Ramadhan tetap abadi di dalam hati kita.
Mari kita memelihara dan merayakan kenangan indah tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritual dan kehidupan kita.